Rabu, 03 November 2010

Mahasiswa Teladan

Mahasiswa Teladan
oleh: Aziz Nur Kholik*
Berawal dari sebuah keinginan untuk menulis profil mahasiswa matematika teladan, muncul suatu pertanyaan yang menggelitik. Adakah mahasiswa teladan dari prodi ini?
Sebuah artikel di media massa local yang memuat profil mahasiswa teladan dari sebuah universitas membuat kita hanya bisa gigit jari. Mengapa sampai sekarang kita belum bisa seperti itu. Padahal sosok mahasiswa teladan benar-benar dinantikan sebagai panutan bagi mahasiswa lain sehingga mampu memicu semangat untuk berprestasi.
TIDAK SEKEDAR IP
Minimnya mahasiswa teladan bukan berarti mahasiswa tadris matematika merupakan mahasiswa yang kurang pandai serta tidak memiliki semangat perubahan. Keberadaan Himatika merupakan bukti bahwa mahasiswa tadris matematika menginginkan adanya perubahan. Tentunya tidak mudah merintis suatu perhimpunan yang berusaha mengakomodir berbagai kebutuhan mahasiswa matematika.
Bisa jadi, yang menyebabkan kampus kita kekurangan mahasiswa yang sarat prestasi adalah adanya asumsi bahwa tolok ukur prestasi adalah IP. Sehingga sulit dijumpai mahasiswa teladan yang memenangi sejumlah kompetisi terutama yang berkaitan dengan bidang keilmuan yang di geluti.
Asumsi ini memang tidak bisa dikatakan salah. Namun tidak sepenuhnya benar. Ini dikarenakan tingkat validitas IP tidak selalu merepresentasikan kemampuan akademik mahasiswa. Sebabnya mahasiswa seringkali memimiliki ide-ide “kreatif” untuk meningkatkan IP. Cara-cara yang tidak sportif inilah yang mengakibatkan IP bukan tolok ukur prestasi.
Namun anggapan bahwa IP adalah tolok ukur prestasi, telah melahirkan mahasiswa yang hanya peduli pada IP semata. Mahasiswa yang semacam ini dikatakan sebagai mahasiswa dengan label IP oriented. Mahasiswa seperti itu hanya peduli pada urusan kuliah. Karna hany terpaku pada IP maka semangat untuk berprestasi dengan berkarya dan berkompetisi dalam berbagai event menjadi lenyap.
POLITIK KAMPUS
Selain IP oriented, banyak juga mahasiswa yang lebih memilih terjun dalam politik kampus. Ada semacam penilaian bahwa menduduki sejumlah posisi strategis di berbagai organisasi merupakan prestise tersendiri. Ini mengakibatkan mahasiswa lebih tertarik untuk berpolitik daripada meraih prestasi.
Bukan maksud penulis menghakimi bahwa aktifis kampus mengabaikan masalah akademik sehingga terkesan bodoh. Ada juga aktifis yang berhasil menumbangkan stigma tersebut. Namun pembuktiannya hanya sebatas IP.
Untuk itu asumsi yang telah mengakar harus dirubah agar harapan akan adanya mahasiswa teladan tidak sekedar menjadi mimpi kosong. Perlu ditekankan bahwa IP bukan satu-satunya parameter prestasi. Selain itu mahasiswa diharapkan lebih proporsional dalam urusan organisasi maupun akademik.
Penulis adalah mahasiswa TM2B

Tidak ada komentar:

Posting Komentar