Rabu, 03 November 2010

Seandainya tidak ada Matematika

Aku teringat saat aku ulang tahun di usiaku yang ke-15, bukan kue atau soft drink yang serba mewah, di hari ulang tahunku itu aku diberikan suatu pengalaman yang tak mungkin akan aku lupakan walaupun aku ingin melupakannya. iya… ketika hari ulang tahunku aku hanya menemukan sepiring nasi untuk aku mkan sendiri siang itu, tanpa lauk pauk. tapi seandainya ada orang yang mau diajak berbagi, aku kan membaginya dan akan aku katakan aku akan selalu berbagi, karena ada yang selalu ingin mempunyai kebahagian walau tersenyum di trotoar jalan raya, Umur cuma angka tapi hidup akan terus berlanjut semisal Allah mengizinkan kita hidup lama maka angka tidak bisa menuliskannya (Moga Panjang Umur)
Satu Hari Nanti
Kita akn Kembali
1 detik? atau Beribu detik?
biar arus jiwa ini
mengalir
ke hilir yang terindah
telaga kaustar
seandainya tidak ada angka orang-orang tidak akan cemas memikirkan hari tuanya, tidak ada perbedaan tua atau muda, tidak ada Si kaya atau Si miskin, pendek atau tinggi.
orang-orang juga tidak ada yang akan berkeluh-kesah karena jarak yang jauh, nilai yang rendah atau tingginya suhu dimusim panas.
coba saja yang kita sebut “angka” itu tidak ada, kita nggak akan beda-bedain orang, sebel karena terlalu lama (yang jadi ukuran pasti angka) menuggu, tidak ada ‘bilangan’ jam sehingga kita bisa sepuasnya menghabiskan hari tanpa harus ada batasan apapun.
karena angka juga aku menghentikan tulisan ini.. :-(
 arif-syah-rahman.jpg
arif syah rahman arif_math@plasa.com www.khanana.wordpress.com

Rumus “Cepat”? Smart Apa Sesat?

Pernahkah terbesit dalam pikiran kita menyelesaikan soal Matematika, Fisika, Kimia atau yang lainnya semudah membalikkan telapak tangan? Tentunya kita langsung teringat dengan berbagai Lembaga Bimbingan Belajar (Bimbel) yang sedang menjamur pada saat ini. Lembaga-tembaga tersebutlah yang menawarkan “solusi praktis” berupa penggunaan rumus-rumus “cepat” untuk menyelesaikan soal-soal tersebut dalam waktu yang relatif singkat.
Di dalam Bimbel, selain diajari rumus-rumus “cepat”, kita pun akan dilatih tips dan trik dalam menjawab berbagai jenis soal yang tentunya sangat berbeda dengan konsep yang diajarkan di sekolah. Di sekolah, butuh proses yang panjang untuk menjawab sebuah soal, tetapi di Bimbel soal tersebut dapat diselesaikan dalam beberapa langkah saja. Penggunaan rumus “cepat” terlihat cukup membantu. Apalagi dengan standar kelulusan Ujian Ahir Nasional (UAN) yang selalu naik setiap tahun dan persaingan masuk Perguruan Tinggi (PT) yang semakin ketat. Hal ini tentu akan lebih meningkatkan minat untuk “bergabung” dengan Bimbel.
Disamping itu semua, apakah penggunaan rumus-rumus “cepat” akan selalu berdampak positif  bagi penggunanya? Bukankah pemahaman konsep merupakan hal yang utama? Karena tanpa pemahaman itu, semua akan menjadi bias. Artinya bahwa, penggunaan rumus “cepat” tanpa dilandasi pemahaman dan pengertian, hanya akan jadi “beo” saja, dan sangat merugikan. Karena proses berpikir tidak diperhatikan dan cenderung dianggap tidak penting. Selain itu juga hal tersebut akan mengakibatkan distorsi orientasi yang semestinya mementingkan proses, menjadi berorientasi hasil. Pada akhirnya hanya menimbulkan pragmatisme akut. Ini tentu hal yang tidak kita inginkan terjadi bukan?
Apabila kita cermati dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, hal tersebut, jika terjadi, akan bertentangan dengan salah satu pasal (pasal 3) tentang Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk membangun potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Oleh sebab itu, dengan mempertimbangkan berbagai hal di atas, penggunaan rumus-rumus “cepat” masih bisa ditolerir asal disertai dengan pemahaman dan pengertian akan konsep. Karena sejatinya, menguasai ilmu pengetahuan (sains) itu tidak boleh diukur dari seberapa banyak soal yang mampu kita selesaikan dengan berbagai jalan, tetapi bagaimana konsep yang benar kita pahami, untuk kemudian hari kita kembangkan sebagai inovasi dan hasil karya pikiran kita.

Mahasiswa Teladan

Mahasiswa Teladan
oleh: Aziz Nur Kholik*
Berawal dari sebuah keinginan untuk menulis profil mahasiswa matematika teladan, muncul suatu pertanyaan yang menggelitik. Adakah mahasiswa teladan dari prodi ini?
Sebuah artikel di media massa local yang memuat profil mahasiswa teladan dari sebuah universitas membuat kita hanya bisa gigit jari. Mengapa sampai sekarang kita belum bisa seperti itu. Padahal sosok mahasiswa teladan benar-benar dinantikan sebagai panutan bagi mahasiswa lain sehingga mampu memicu semangat untuk berprestasi.
TIDAK SEKEDAR IP
Minimnya mahasiswa teladan bukan berarti mahasiswa tadris matematika merupakan mahasiswa yang kurang pandai serta tidak memiliki semangat perubahan. Keberadaan Himatika merupakan bukti bahwa mahasiswa tadris matematika menginginkan adanya perubahan. Tentunya tidak mudah merintis suatu perhimpunan yang berusaha mengakomodir berbagai kebutuhan mahasiswa matematika.
Bisa jadi, yang menyebabkan kampus kita kekurangan mahasiswa yang sarat prestasi adalah adanya asumsi bahwa tolok ukur prestasi adalah IP. Sehingga sulit dijumpai mahasiswa teladan yang memenangi sejumlah kompetisi terutama yang berkaitan dengan bidang keilmuan yang di geluti.
Asumsi ini memang tidak bisa dikatakan salah. Namun tidak sepenuhnya benar. Ini dikarenakan tingkat validitas IP tidak selalu merepresentasikan kemampuan akademik mahasiswa. Sebabnya mahasiswa seringkali memimiliki ide-ide “kreatif” untuk meningkatkan IP. Cara-cara yang tidak sportif inilah yang mengakibatkan IP bukan tolok ukur prestasi.
Namun anggapan bahwa IP adalah tolok ukur prestasi, telah melahirkan mahasiswa yang hanya peduli pada IP semata. Mahasiswa yang semacam ini dikatakan sebagai mahasiswa dengan label IP oriented. Mahasiswa seperti itu hanya peduli pada urusan kuliah. Karna hany terpaku pada IP maka semangat untuk berprestasi dengan berkarya dan berkompetisi dalam berbagai event menjadi lenyap.
POLITIK KAMPUS
Selain IP oriented, banyak juga mahasiswa yang lebih memilih terjun dalam politik kampus. Ada semacam penilaian bahwa menduduki sejumlah posisi strategis di berbagai organisasi merupakan prestise tersendiri. Ini mengakibatkan mahasiswa lebih tertarik untuk berpolitik daripada meraih prestasi.
Bukan maksud penulis menghakimi bahwa aktifis kampus mengabaikan masalah akademik sehingga terkesan bodoh. Ada juga aktifis yang berhasil menumbangkan stigma tersebut. Namun pembuktiannya hanya sebatas IP.
Untuk itu asumsi yang telah mengakar harus dirubah agar harapan akan adanya mahasiswa teladan tidak sekedar menjadi mimpi kosong. Perlu ditekankan bahwa IP bukan satu-satunya parameter prestasi. Selain itu mahasiswa diharapkan lebih proporsional dalam urusan organisasi maupun akademik.
Penulis adalah mahasiswa TM2B

Blaise Pascal

Blaise Pascal
(1623-1662)
Blaise Pascal adalah seorang ilmuwan dan matematikawan yang lahir di Clermont. Sebelum berusia 16 tahun Pascal memiliki ketertarikan yang besar pada geometri. Ternyata Pascal mempelajari geometri secara otodidak. Lalu seorang teman ayahnya memberi Pascal sebuah buku elemnt karangan Euclid.
Latar Belakang Keluarga
Semenjak umur 4t tahun Pascal diasuh oleh ayahnya yang bernama Etienne. Ini dikarenakan ibunya meninggal ketika melahirkan Jacqueline, adik perempuannya. Selain Jacqueline, pascal juga memiliki kakak perempuan yang bernama Gilberte. Kelak, kedua saudaranya sangat berpengaruh dalam hidup Pascal.
Setelah Gilberte menikah dengan Mr. Perier.Dia beserta adik dan ayahnya pindah bersama Gilberte ke Paris agar mendapat pendidikan yang lebih layak. Ketika pascal menginjak usia 15 tahun, Etienne bersekongkol untuk menentang gereja yang menarik pajak kepada rakyat. Persekongkolan Etienne dianggap sebagai suatu pembangkangan terhadap pemerintah. sehingga pemerntah melakukan penangkapan terhadap anggota persekongkolan. Namun ayah Pascal berhasil melarika diri dan meninggalkan anak-anaknya di Paris.
Tidak lama setelah penangkapan tersebut Jacqueline mendapat undangan dari kerajaan untuk berakting. Meskipun ia tidak secantik sebelumnya karena baru saja terserang cacar namun aktingnya yang bagus membuat keluarga kerajaan terpukau. Kesempatan ini dimanfaatkannya untuk merayu kerajaan agar mau membebaskan ayahnya. Akhirnya, Etienne di panggil pulang ke Paris atas permintaan Jacqueline. Tidak hanya itu, Etienne juga diangkat menjadi petugas pajak di wilayah Normandia.
Pengangkatan Etienne menjadi petugas pajak inilah yang mendorong Pascal untuk membuat mesin hitung guna meringankan tugas sang ayah. Ketika Pascal berusia 18 tahun pascal telah berhasil menciptakan mesin hitung yang dapat melakukan operasi penjunlahan, pengurangan, pembagian dan perkalian.
Pendidikan
Meskipun Pascal tidak mengenyam pendidikan di bangku sekolah tapi ia mendapat pelajaran dari ayahnya dan kadang kala dari guru pribadi. Ini dikarenakan Etienne memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan. Ia mempunyai keyakinan yang unik dalam mendidik anak. Dia percaya bahwa kemampuan belajar seorang anak sangat bergantung pada usia. Sehingga Pascal tidak pernah dipaksa untuk belajar sesuatu diatas kemampuannya. Bahkan ia mempunyai tahapan tersendiri dalam mengajar Pascal. Yang pertama diajarkannya ialah ilmu pengetahuan alam. Setelah itu penguasaan bahasa akan diajarkan pada usia 12 tahun. Sedangkan matematika akan diajarkan setelah menginjak usia 16 tahun.
Selama berada di Paris Pascal disertakan sebagai anggota diskusi di rumah Mersenne yang tidak jauh dari Paris. Sejak saat itu Pascal sering berdiskusi dengan tokoh-tokoh terkemuka seperti Descartes, Fermat dan Roberval. Sejak saat itu minatnya terhadap ilmu pengetahuan semakin bertambah.
Ketika berusia 13 tahun, Pascal menemukan segitiga pascal.Dua tahun kemudian, dia menemukan teorema pascal yang berbunyi titik-titik singgung pada sisi-sisi sebuah segi enam pada sebuah kerucut terletak pada suatu titik. Teorema ini dapat digunakan untuk menjbabarkan lebih dari 400 preposisi pada buku kerucut.tidak hanya itu, teorema ini juga merupakan teorema dasar pada geometri proyektif.
Sisa Hidup
Berdasarkan kondisi kesehatan yang tidak terlalu bagus, dokter menganjurkan Pascal untuk tidak terlalu banyak bekerja. Selain itu ia dianjurkan untuk mencari kegiatan yang dapat membuatnya merasa senang. Sayangnya anjuran ini dijadikan alasan oleh Pascal untuk berjudi dan berfoya-foya. Hidup seperti ini sangat menguras hartanya. Untuk itu dia berusaha menjual mesin hitung pada ratu Christina dari Swedia meskipun akhirnya ditolak.
Sekitar tahun 1651 Pascal mendapat warisan dari ayahnya yang baru saja meninggal. Harta ini pun akhirnya habis di meja judi. Lalu Pascal memanfaatkan ilmu matematikanya untuk menulis buku teks bagi anak-anak sekolah di Port Royal. Sedangkan waktu luangnya digunakan untuk kegiatan misionaris. Selama menghabiskan waktu di gereja, Pascal menjual semua barang yang memberinya kesenangan duniawi. Uang yang dia peroleh dari hasil penjualan disumbangkan pada fakir miskin. Meskipun dia harus berhutang bahkan menjadi pengemis untuk bertahan hidup.
Pada tahun 1662 kondisi kesehatan Pascal semakin buruk. Namun dia menolak semua bantuan yang bertujuan untuk meringankan penyakitnya. sebelum meninggal, dia memiliki keinginan yang aneh. Dia ingin meninggal di rumah sakit seperti umumnya orang miskin. Sedangkan yang biasa meninggal di rumah adalah orang kaya. Sayangnya, keinginan tersebut tidak terlaksana. Pascal meninggal setelah lama tidak sadarkan diri sehngga penyebab kematiannya tidak diketahui secara pasti.
Sumbangsih
Selain memberikan kontribusi besar terhadap matematika, dia juga meninggalkan karya yang tidak berkaitan dengan matematika yang berjudul pensees dan provincial letters. Sedangkan dalam bidang fisika, dia ikut memberi sumbangsih dalam bidang hidrostatik dengan ekeperimen tabung.
By : Aqitis Saqiroh

Media Alternatif Pembelajaran Matematika

Hingga saat ini banyak orang yang menilai matematika sebagai bidang studi yang paling sulit. Penilaian tersebut kemudian memunculkan pertanyaan mengapa matematika sulit dipelajari? Lantas media apakah yang dapat meminimalisir kesulitan belajar matematika?
Meskipun matematika dianggap memiliki tingkat kesulitan yang paling tinggi, namum setiap orang harus mempelajarinya karena merupakan sarana untuk memecahkan masalah sehari-hari. Pemecahan masalah tersebut meliputi penggunaan informasi, penggunaan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, penggunaan pengetahuan tentang menghitung dan yang terpenting adalah kemampuan melihat serta menggunakan hubungan-hubungan yang ada.
Bersifat Abstrak
Matematika merupakan bahasa simbolis yang mempunyai fungsi praktis untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan. Sedangkan fungsi teoritisnya untuk memudahkan berpikir. Dengan kata lain, matematika adalah bekal bagi peserta didik untuk berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif.
Sebagai bahasa simbolis, ciri utama matematika ialah penalaran secara deduktif namun tidak mengabaikan cara penalaran induktif. Selain sebagai bahasa simbolis, matematika juga merupakan ilmu yang kajian obyeknya bersifat abstrak. Hal ini senada dengan definisi H.W. Fowler mengenai hakikat matematika yaitu “ mathematics is the abstract science of space and number.” Matematika adalah ilmu abstrak mengenai ruang dan bilangan. Pendapat tersebut juga dikuatkan oleh Marshall Walker “mathematics maybe difined as the study of abstract structures and their interrelations,” matematika dapat didefinisikan sebagai studi tentang struktur-struktur abstrak dengan berbagai hubungannya.
Obyek matematika yang bersifat abstrak tersebut merupakan kesulitan tersendiri yang harus dihadapi peserta didik dalam mempelajari matematika. Tidak hanya peserta didik, guru pun juga mengalami kendala dalam mengajarkan metematika terkait sifatnya yang abstrak.
Semi Konkrit
Konsep-konsep matematika dapat dipahami dengan mudah bila bersifat konkrit. Karenanya pengajaran matematika harus dilakukan secara bertahap. Pembelajaran matematika harus dimulai dari tahapan konkrit. Lalu diarahkan pada tahapan semi konkrit. Setelah itu memasuki tahapan abstrak.
Bisa dikatakan bahwa tahapan semi konkrit merupakan jembatan menuju tahapan abstrak untuk itu diperlukan media pembelajaran yang dapat menyajikan obyek kajian matematika yang bersifat semi konkrit. Guna memasuki tahapan tersebut, gambar dan atau animasi dapat dimanfaatkan. Dalam hal ini peranan TIK (Teknologi Informasi dan Komputer) sangat dibutuhkan.
Komputer misalnya, pada saat pelaksanaan pembelajaran, komputer dapat menyajikan materi dalam bentuk grafik dan audiovideo. Selain itu dengan bantuan perangkat lunak, beberapa konsep matematika seperti volume benda putar, limit dan geometri dapat diterangkan dengan mudah. Sehingga matematika dapat disajikan dengan lebih menarik.
TIK disebut sebagai media pembelajaran matematika yang mampu mengubah obyek matematika ke dalam ranah semi konkrit karena visualisasi yang disajikan dapat mewakili obyek nyata.
Penguasaan Konsep-Konsep Dasar
Penggunaan TIK dalam pembelajaran matematika tidak hanya sebagai media yang memaparkan obyek semi konkrit. Disamping itu TIK juga sangat berperan dalam membantu mengurangi kesalahan umum yang biasa terjadi. Kekeliruan tersebut mencakup pemahaman menganai simbol, nilai tempat dan perhitugan. Padahal ketiganya merupakan konsep paling dasar yang harus dikuasai peserta didik.
Kurangnya pemahaman tentang simbol, tidak terlalu menimbulkan kesulitan jika peserta didik diminta menyelesaikan soal-soal sederhana seperti 5 + 3 = … atau 9 – 4 = …. Kesulitan mulai dirasakan ketika soal sedikit diubah seperti 5 + … = 7 atau … + 3 = 6. kesulitan seperti ini disebabkan peserta didik tidak benar-benar memahami simbol misalnya simbol sama dengan (=), tidak sama dengan (≠), tambah (+), kurang (-) dan sebagainya.
Sedangkan minimnya pemahaman pemahan tentang nilai tempat setiap satuan, puluhan, ratusan, dan seterusnya akan menimbulkan kesulitan bagi peserta didik bila dihadapkan pada lambang bilangan basis bukan sepuluh.
Adanya kekeliruan dalam memahami konsep-konsep dasar matematika tersebut, maka semakin menegaskan bahwa penyampaian materi dengan media konvensional perlu diganti dengan media alternatif yang lebih canggih seperti TIK. Sehingga matematika semakin mudah dipelajari dan kesan sulit yang selama ini melekat dapat dihilangkan.
Lap. Alkomah, Nanik